PT. Perusahaan Listrik Negara atau PLN (Persero) – PLN yang menjadi salah satu tulang punggung energi negeri terus melakukan upaya peningkatan mutu pengelolaan Keselamatan, Kesehatan Kerja, dan Keamanan (K3).

EVP Keselamatan, Kesehatan Kerja, Keamanan dan Lingkungan PLN, Antonius RT Artono mengatakan, pihaknya sangat menyadari vitalnya aspek K3. Menurutnya, karyawan dan dukungan masyarakat, khususnya yang ada di sekitar area operasional merupakan aset terpenting perusahaan.

“Jadi kami selalu berupaya untuk meningkatkan pengelolaan K3 agar aspek kesehatan, keselamatan, keamanan, dan lindung lingkungan terus terjaga,” ujarnya.

Menurutnya, kecelakaan kerja umumnya disebabkan oleh dua aspek, yakni unsafe action dan unsafe condition. Penyebab pertama biasa karena pengabaian terhadap peralatan dan prosedur keselamatan dalam bekerja. Sementara yang kedua, karena lingkungan kerja yang tidak aman, seperti jalan licin, jalan berlubang, ataupun infrastruktur kerja yang kurang lengkap.

Menyikapi hal ini, PLN membentuk Road Map K3 dengan target Zero Accident di tahun 2023. Salah satu langkah dalam Road Map 2023 adalah membentuk organisasi K3 di unit-unit induk PLN pada tahun 2013. Adapun penyempurnaannya dilakukan pada 2017 dengan pembentukan Manajer Pejabat K3, Pemangku Kepentingan K3 atau Pelaksana K3.

“Sebenarnya pada aspek keselamatan kerja itu hanya memerlukan pengawasan. Nah pengawasan yang paling murah dan paling efisien itu sebenarnya kepada diri setiap karyawan masing-masing. Jadi tugas keselamatan kerja itu bukan tugasnya orang K3 semata,” jelasnya.

Adapun indikator keberhasilan dari budaya K3 itu terdiri atas lagging indicator dari empat aspek, yakni Loss of Life, Loss of Production, Loss of Productivity, dan Loss of Asset. Keempat indikator itu lantas dibuat indikator kinerja utama atau key performance indicators (KPI).

Dengan demikian pengelolaan K3 di PLN terus dilakukan dengan cara bersinergi antar unit, mengukur pencapaian KPI lagging indicators, dan memperkuat budaya K3 di lingkungan PLN dan juga kontraktornya.

“Terus kita bikin juga Lesson Learned. Jadi setiap ada insiden, baik yang near miss atau berdampak, kita share ke teman-teman melalui group chatting di perpesanan instan. Tujuannya apa? Supaya insiden di tempat yang satu, tidak terjadi di tempat yang lain,” ungkapnya.

Sementara, Raswari, Chairman Persatuan Insinyur Profesional Indonesia, sekaligus Deputy Chairman Oil Gas dan Energy KADIN Indonesia menjelaskan, dalam sebuah perusahaan energi seperti PLN, kondisinya sarat akan risiko kebakaran dan kerusakaan aset yang dapat berujung pada kecelakaan kerja yang menyebabkan kehilangan nyawa.

“Dalam industri energi seperti PLN, aspek K3 harus sangat ketat pelaksanaan dan pengawasannya,” kata Raswari.

Raswari menilai, industri seperti PLN harus memperbanyak signage peringatan kewaspadaan maupun tanda bahaya di area operasional PLN yang berisiko tinggi. Harus dibuat juga restricted zone dan segmentedzone di mana hanya orang dengan badge khusus yang bisa masuk. Jadi pengawasannya ketat.

Di kesempatan itu, beberapa saran pun dipaparkan Raswari untuk penerapakan K3 yang holistik di PLN, di antaranya pemasangan CCTV di berbagai sudut organisasi dan lapangan agar pengawasan dapat berlangsung ketat dan luas. Selain itu PLN juga bisa membuat film singkat tentang SOP yang harus dipatuhi orang-orang yang akan masuk fasilitas produksinya. Film itu akan diperlihatkan kepada setiap pengunjung baru fasilitas produksi.

Raswari juga menyarankan agar PLN mewajibkan profesionalnya untuk mengikuti sertifikasi kompetensi sesuai bidangnya masing-masing. Mengikuti sertifikasi kompetensi bisa dilakukan di PIPI atau lembaga profesi lainnya yang berwenang.

Untuk urusan sertifikasi profesi ini, Indonesia memang cukup tinggal. Di negara ASEAN lainnya sudah lebih dari 65 persen profesional yang memegang sertifikasi profesi. Sementara di Indonesia baru dua persen professional di perusahaan yang memiliki sertifikasi kompetensi.

“Apalagi sekarang Presiden Jokowi menginstruksikan, program untuk visi Indonesia adalah meningkatkan sumber daya manusia. Artinya, seluruh pegawai harus ditraining aspek technical dan manajemen. Jadi seluruhnya harus memiliki sertifikasi training agar profesionalitasnya teruji dan diakui,” papar Raswari.

Sumber.

Tinggalkan komentar